Untuk sebuah pembuktian, laki-laki kadang bebal dan tak mau mengindahkan saran kekasihnya. Tanyakan saja pada Antoine Griezman yang sudah menanggung sendiri ego nya.
Akhir tahun 2018, Le Petit Prince coba-coba untuk bereksperimen dengan kariernya yang sudah mapan.
Sang istri, Erika Choperena, dengan suara lembut dan feminim khas perempuan Spanyol sudah mewanti-wanti, “Jika kamu pergi ke Barcelona kamu akan menjadi pemain biasa, tetaplah di Atlético maka kamu akan terus mengukir sejarah.”
Griezmann tidak mengeleng atau mengangguk. Tapi tau-tau dia keluar dari Wanda Metropolitano, hanya untuk tanpa disambut gemuruh tepuk tangan di Camp Nou.
Hal ini terasa anomali, sebab Griezman merupaka mega pembelian Barcelona. Ditebus dengan 120 juta euro atau sekitar 2 trillun Rupiah
Nominal yang lebih dari cukup untuk membuat kita berleha-leha menikmati hidup sampai masuk ke liang lahat. Bahkan masih bisa dipakai untuk 7 generasi.
Saya bergidik, sebab 2 Trilliun adalah uang yang teramat besar. Tapi jumlah itu ternyata masih belum cukup untuk mengakomodir niat luhur yang mulia Natalius Pigai.
Tapi Griezmann bukan Mentri Hak Asasi Manusia (HAM). Dia jago berbicara dengan kaki di rumput hijau, bukan dengan mulut di depan pelantang suara.
Bukan Karena Uang atau Trofi
Griezmann bilang kepindahannya ke Cataluna bukan karena alasan politis. Griezmann bilang bukan karena segunung uang, yang dengan itu dia bisa membuat 1000 program kemanusian untuk menegakan HAM.
Bukan juga karena imajinasi trofi yang lebih besar. Tapi karena ingin menantang dirinya sendiri. Griezmann adalah otak alias kreator utama serangan, seorang playmaker yang dipaksa hidup dalam sistem bertahan yang kuat ala Diego Simione.
Griezmann ingin sesuatu yang baru. Dia agaknya bosan dengan pendekatan 4-4-2 atau 3-5-2 atau 5-3-2 atau 4-2-3-1 Simione yang berganti-berganti memasangnya sebagai second striker, central forward, atau left winger.
“Saya pergi dari Atletico untuk gaya bermain yang baru, filosofi baru,”ucapnya dengan nada pongah.
Akhirnya, Griezmann merasakan juga gaya tiki-tika dengan formasi 4-3-3 Barcelona. Meski bukan lagi dengan Pep Guardiola, tapi di bawah arahan si mata sayu Ernesto Valverde.
Griezmann benar-benar mencapai tujuannya. Namun, omongan istrinya juga menemui kebenarannya. Griezmann hanya jadi pemain yang biasa-biasa saja untuk ukuran Barca yang Mes Que un Club.
Griezmann sebenarnya memang tak diinginkan oleh para Cules. Jadi, 35 gol dari 102 laga jelas bukanlah sesuatu yang mengesankan untuk pembelian termahal ketiga klub.
Mengapa Griezmann irit gol dan tak disukai para Cules? Rodrigo De Paul, seorang Argentina yang jadi karibnya di Los Rojiblancos punya jawabannya.
Si Motorcito terlalu jujur dengan menggambarkan Griezmann sebagai Lionel Messi dari Atlético Madrid tetapi Barcelona sudah memiliki La Pulga yang asli.
Griezmann dan Messi punya gaya bermain yang mirip. Mereka tak bisa saling melengkapi. Keduanya juga terlalu sama-sama pendiam untuk sekadar bertukar kata dan menikmati Mate di ruang ganti.
Begitulah kenyataan yang kita tahu; Griezmann tampak canggung bermain dengan Messi. Apa mau dikata, di Barcelona Griezmann tidak pernah benar-benar berhasil menjadi dirinya sendiri.
Perjalanan Kembali Ke Rumah
Saat cedera dan hangat bangku cadangan memberinya jeda, Griezmann sejenak merenung. Lalu sesuatu berdenting di kepalanya;
Semakin kita jauh meninggalkan rumah, semakin kita merasa sadar bahwa rumah sendiri adalah sebaik-baiknya tempat merawat perasaan.”
Sampai kesempatan kedua itu datang, Griezmann tak mau berpikir dua kali. Pintu terbuka dan dia menghambur masuk ke rumahnya.
Griezmann tersadar bahwa dia perlu merasa Bahagia. Jadi, hanya ada satu tempat untuk dituju: rumah. Dan Atletico adalah rumahnya, sebab Diego Simeone lebih dari sekadar manajernya, sudah seperti Ayah sendiri.
“Saya membuat kesalahan waktu itu, sebagaimana bisa terjadi pada siapapun. Tapi saya akan melakukan segalanya agar para suporter bangga dengan pemain nomor tujuhnya,”sesal Griezmann.
Karena Los Rojiblancos adalah rumah yang tak sejengkalpun tak ia kenali, maka Griezmann tak perlu adaptasi dua kali.
Seisi rumah tak pernah menganggapnya berkhianat. Jadi Griezmann menikmati setiap menit di rumahnya.
Dia bersantai namun tetap berjaga dan sambil berucap ‘Awas,’dan ‘Minggir lu miskin, minggir lu miskin,’ ketika ada penganggu yang merecoki rumahnya.
Kita yang belum cukup ongkos melancong ke Timur laut Madrid, cukup bangun lebih awal, berlangganan platform streaming, dan menyalakan gawai dan menikmati aksi-aksi Griezmann dari layer peramban atau televisi.
Semua yang bakal kita lihat, segera membuat kita sadar benar apa yang dikatakan novelis George Moore, “Seorang pria berkeliling dunia untuk mencari apa yang dia butuhkan dan kembali ke rumah untuk menemukannya.”
Tabik!!
*Tulisan ini tersimpan di draft sejak 14 September 2024