Diluar Cold Nitro atau jenis minuman lainnya, saya tak yakin apakah orang-orang di meja tongkrongan menyadari kalau selalu ada air putih yang saya bawa dengan tumbler atau pesan di kasir. Saat memesan makanan, apapun yang sedang saya santap, saya selalu memesan air putih hangat. Tidak pernah tidak.
Bagaimana kebiasaan sehat ini bermula? Entahlah. Mungkin karena sewaktu SMP, Pak Wagiran, Kepala Sekolah yang juga mengajar Bahasa Indonesia memberi sebuah pencerahan.
“Apa yang sebaiknya kita lakukan setelah bangun tidur,”
Kepala saya kosong dan hanya ada sunyi didalamnya. Seingat saya, ada satu dua teman yang nyeletuk dengan jawaban-jawaban polos mengarah ke dungu. Sebelum lebih banyak mendengar kekeliruan, Pak Wagiran menjawab sendiri pertanyaan itu dengan menceritakan betapa pentingnya mencukupi kebutuhan cairan tubuh dengan air putih.
“Kalau kalian berak atau kencing tak lama setelah minum air putih dua gelas. Bersyukurlah. Itu tanda kalian sehat. Sering-seringlah minum air putih,” ucapnya dengan senyum yang mengingat saya pada sosok Buddha.
Maka begitulah, saya tumbuh dengan laku rajin meminum air putih. Bukan air mineral dalam botol kaca yang berlabel “alkali” atau “ionisasi tinggi”, tapi air sumur yang ditimba dan direbus dalam panci aluminium, lalu disimpan di teko plastik yang menguning karena usia.
Saya, Air Putih, dan Hidup yang Kadang Hambar
Seiring usia yang terus melaju, saya sering terpekur saat selepas bangun tidur atau sehabis santap makan. Permenungan tunggal itu kerap melibatkan air putih. Sejak lama saya memikirkan banyak hal bercabang dari air putih. Ia tidak menuntut banyak. Ia tidak seperti sirup yang harus diberi es, atau kopi yang perlu suasana. Ia tidak mempermasalahkan apakah saya sedang senang atau patah hati, tidak seperti susu coklat yang hanya enak kalau hati sedang manis.
Air putih hanya ada. Diam-diam. Setia. Selalu di meja. Ada masa ketika hidup saya juga terasa seperti air putih: Hambar. Datar. Tidak buruk, tapi juga tidak istimewa. Hari-hari datang dan pergi seperti arus kecil yang lewat di got belakang rumah.
Pagi bangun, hingga sore bekerja, petang atau malam menyisihkan waktu untuk bermain sepak bola, adakalanya nongkrong dengan obrolan yang basi, atau membuang jenuh di bioskop, tidur di waktu yang larut, lalu ulang lagi. Tak ada pertengkaran kecil dengan kekasih, karena memang tidak ada kekasih. Tak ada kehilangan, tapi juga tak ada kemenangan yang wah.
Saat menulis ini, saya berada di Co Working Space Grahatama Pustaka. Air mineral kemasan ada di samping laptop dan satu jam sebelumnya saya baru saja meneguk segelas air putih hangat setelah menyantap seporsi gado-gado.
Sementara waktu, saya cuma mengandalkan income dari satu pintu sebagai penulis naskah di channel Youtube sepak bola. Meski sudah berjuta subscribe, sialnya upah saya tak pernah menembus UMR Jogja. Saya sadar situasi ini harus berhenti. Sialnya, terlalu banyak ide di kepala, tapi terlalu sedikit tindakan yang dilakukan.
Saya sebenarnya tidak sedang sedih, tapi juga tidak bisa bilang sedang bahagia. Gamang dan tawar. Dan saat memandang air putih, pikiran-pikiran yang datang dari entah tumpah: Hidup yang begini, saya kira lebih mirip air galon isi ulang daripada sungai yang mengalir bebas: dimurnikan, disaring, dibatasi—tapi entah untuk siapa dan demi apa.
Air putih juga tidak punya aroma. Dan karena itu, ia tidak membangkitkan kenangan seperti kopi yang mengingatkan pada hujan dan mantan, atau teh melati yang mengingatkan pada senja di beranda.
Tapi justru karena itu pula, air putih tidak pernah menyakiti. Tidak ada luka yang ditinggalkan olehnya. Tidak ada rasa yang membekas di lidah, tapi ada kelegaan yang terasa setelah diteguk—diam-diam, tanpa gembar-gembor.
Mungkin karena itulah, saya selalu kembali ke air putih. Di tengah dunia yang bising dengan rasa, air putih seperti ruang kosong yang bisa saya isi dengan apapun. Ia adalah jeda. Dan kadang, jeda adalah satu-satunya yang membuat saya bertahan.
Tapi apakah hidup yang hambar seperti itu patut disyukuri? Atau hanya bentuk lain dari ketakutan untuk mencicipi rasa yang lebih ekstrem?
Kadang saya bertanya, apakah saya menikmati hidup yang tawar ini karena sudah terlalu lelah dengan yang lain? Apakah saya ragu terhadap rencana dan cita-cita karena takut gagal, dan menamainya “kedewasaan”? Apakah saya berhenti jatuh cinta karena takut kembali membuat perempuan merasa patah, dan lantas menamainya “ketenangan.”
Saya tidak tahu. Tapi saya tahu, terlalu lama hidup dalam tawar membuat kita lupa caranya mengecap. Lupa bagaimana rasanya berdebar saat mencoba hal baru, lupa betapa menyenangkannya dikecewakan, karena setidaknya itu bukti kita masih ingin sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Saya suka air putih. Tapi saya tidak ingin hidup saya selalu seperti dia. Karena hidup, setidaknya sekali-sekali, perlu rasa. Perlu aroma. Perlu sesuatu yang membuat kita berkata:
“Ah, ini rasanya hidup.”
Tabik!