Berumah Pada Rindu

Diunggah di Facebook, 5 April 2024

Laki-laki juga boleh menangis. Kelaki-lakian seorang tak berubah atau berkurang sekalipun sungai air mata mengalir dan membasahi pipi. Lebih-lebih menangis karena rindu.

Jadi, menangis sajalah. Dan kamipun menangis.

Saat SMA saya diboyong ke rumah mertua Tante agar lebih dekat ke sekolah, meski hanya sekitar 25 kilometer dari rumah dan hampir setiap pekan saya pulang, sepekan pertama saya isi dengan sesunggukan menangis.

Tradisi itu diteruskan oleh Dani ketika nyantri semasa SMP di kota yang sama.

Bertahun-tahun kemudian setelah 5 bulan dari sejak kali pertama dia menyeberang pulau untuk bekerja di kota yang sama dengan saya, lelaki yang menenteng kardus Bakpia ini menangis.

Beberapa butir air mata jatuh saat dia terbengong-bengong di kosan dan dalam keadaan lelah selepas bekerja.

” Ampai seda jaoh jak nua. Uni muneh. Ngiram rik Mama, Papa, Zidan, Akas.”

Dani menangis karena kangen. Karena rindu dengan keluarga. Untuk sebab itu saya tertawa mengejek kejujuran hati nya.

Untuk ukuran Dani yang tak banyak omon-omon apalagi terbiasa mengobral gombal, penyebab tangisannya bisa saya percaya.

Apa mau dikata lagi? Rasa kangen membuat hati lelaki manapun lembut dan jadi gampang teriris.

Soal menangis dan jarak dan rasa kangen dan rumah. Gagasan saya masih sama;
air mata yang mengetuk lantai atau kering tersapu angin tak ada hubungannya dengan jarak.

Bentangan kilometer hanya ilusi dan itu tak sepenuhnya mampu merekam satuan emosi. Dan rumah bukan semata tempat kita menetap, tetapi adalah yang selalu kita bawa dan jaga dalam hati.

Gagasan itu yang menenangkan gemuruh kangen dan yang membendung tanggul air mata agar tak jebol ketika saya mengingat-ingat keluarga sepertalian darah.

Hari ini saya dan Dani pulang ke rumah. Kami pulang untuk mengumpulkan energi positif yang berserakan dan tercecer di mana-mana.

Inilah definisi yang pas dari apa yang saya sebut sebagai “berumah pada rindu.” Demikianlah, rindu yang tak lagi bisa terbahasakan harus dijemput dengan pertemuan.

Kami pulang ke rumah fisik, ke rumah rohani, ke tempat di di mana kami sekeluarga melengkapkan diri; tempat di mana kami memantapkan hati sebelum jauh berjalan mengenal dunia di luar rumah yang penuh tantangan dan kami jalani dengan satu dua kali deraian air mata.

Tabik!!

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *