Ensiklopedia Asam: Catatan dari Lidah yang Tidak Suka Dibohongi

Saya tak ingat persis kapan pertama kali mencicipi rasa asam.  Mungkin saat masih kecil, ketika masa kanak-kanak membawa kami berlarian ke tempat-tempat yang entah, dan di sanalah kami menemukan buah ceremai yang belum waktunya dipetik. Atau saat jeda permainan petak umpet, ketika saya memungut Tamarindus indica, asam jawa milik tetangga yang begitu rimbun hingga buahnya berguguran tanpa diundang.

Mencicipi rasa asam dari dua buah itu membuat lidah saya meringis, tubuh seketika menegang, tapi anehnya rasa itu memanggil saya untuk mencoba lagi. Ada semacam rasa ingin tahu yang tak selesai.  Ada sensasi yang tidak menyenangkan, tapi juga tak bisa ditolak.

Dan entah kenapa, kini saya sadar: begitu pula cara saya mencintai hidup. Saya merayakan usia yang hampir seperempat abad, bukan dengan kue tart atau anggur cap orang tua, tapi dengan satu-dua kali kunjungan ke kedai kopi, memesan Arabika yang getir, asam, dan dingin.

Bukan lagi dari ceremai atau asam jawa—rasa asam yang kini mampir ke lidah dan lambung saya datang dari segelas kopi yang disajikan tanpa kompromi.

“Kau mengeluarkan uang hanya untuk membeli rasa yang bukan manis,”  ujar seorang kawan, melihat ekspresi saya usai menyeruput kopi.

Dia dua tahun lebih tua dari saya, dan terlalu sering memesan Red Velvet yang tampaknya lebih dekat ke kue ulang tahun daripada secangkir kopi.  Dia mungkin mengira rasa asam itu gangguan bagi lidah. Tapi bagi saya, asam adalah rasa yang jujur. Tidak seperti manis yang kadang palsu, atau gurih yang bisa disabotase MSG, asam selalu datang tanpa menyamar. Ia menusuk dari depan. Ia tidak berpura-pura.

Saat mengakrabi rasa asam, saya sering teringat pada percakapan yang tidak selesai—atau bahkan ragu-ragu untuk dimulai. Pada hubungan yang penuh tanda tanya, tapi tak pernah sempat dijawab.  Rasa asam adalah bentuk kecil dari perih yang tidak melukai, tapi juga tidak bisa dilupakan.

Apakah Hidup Terkadang Seperti Rujak?

Barangkali itu sebabnya saya juga menyukai rujak. Bukan semata soal rasa atau tekstur, tapi cara rujak menyatukan semua hal yang bertolak belakang menjadi sesuatu yang bisa diterima lidah.

Kadang saya berpikir, hidup ini tak ubahnya sepiring rujak: potongan-potongan masa lalu yang ditaruh begitu saja dalam satu wadah, lalu dihantam sambal kacang yang pedas, kental, dan—tentu saja—asam.

Ada pepaya matang yang manis, seperti kenangan masa kecil yang menyenangkan. Ada bengkoang yang hambar, seperti rutinitas kerja yang dijalani tanpa gairah. Dan ada mangga muda yang terlalu hijau—getir, asam, membuat mata sedikit berair—seperti cerita cinta yang dipetik sebelum waktunya.

Saya dan mungkin Bung dan Nona jugam pernah ada di titik itu: saat semuanya terasa campur aduk. Dan seperti saat makan rujak, saya tak tahu harus menggigit yang mana duluan: yang pahit, yang manis, atau yang membuat mata meringis. Tapi toh semuanya masuk juga ke perut, ditelan, dicerna, dijadikan bagian dari tubuh dan cerita.

Karena mungkin itulah hidup: tidak untuk dinikmati satu rasa, tapi untuk dirayakan meski rasanya campur aduk. Dan dari semua rasa itu, entah kenapa, rasa asam selalu paling membekas.

Asam Adalah Cermin Negeri Ini

Di saat-saat tertentu, saya merasa negeri ini juga bisa dideskripsikan dengan rasa asam. Kadang saya merasa, kita hidup di dalam negara dengan sistem yang terlalu doyan memetik buah sebelum waktunya—dan membanggakan itu seolah prestasi.

Siswa-siswa didesak jadi dewasa sebelum lulus. Mahasiswa diminta jadi pahlawan negara padahal pendidikan dikomersialkan.. Aktivis dibungkam dan dilabeli dengan berbagai rupa bahkan sebelum sempat berdiskusi. Pekerja dibakar semangatnya lewat pelatihan dan slogan, tapi tanpa jaminan dasar yang layak.

Semuanya terasa seperti asam yang terlalu mendadak. Bukan pahit, bukan getir, tapi asam—yang menyentak, menusuk, dan meninggalkan rasa menggelitik yang sulit dijelaskan tapi terus mengendap.

Dan kita, rakyat di meja makan ini, disuruh menikmatinya. Sambil sesekali diberi pemanis buatan: janji soal lapangan kerja, jargon-jargon perihal stabilitas dan sejenisnya. Sambil media massa sibuk menyiram mulut kita dengan konten “inspiratif” dan berita viral yang tak penting, supaya kita lupa bahwa lidah ini sebenarnya sedang dicekik oleh rasa yang tak seimbang.

Tapi kita bertahan. Entah karena terbiasa, atau karena tidak tahu rasa lain. Atau karena—seperti mangga muda dalam rujak—kita belajar mencintai rasa asam itu, meski tahu ada yang tidak beres.

Rasa yang Tak Perlu Sempurna

Ada orang yang menyukai manis karena ingin merasa bahagia. Ada yang memilih gurih karena ingin merasa aman. Tapi ada kalanya kita perlu mencicipi asam. Sebab asam tidak datang dengan janji dusta, Ia datang dengan sensasi yang jujur. Seperti hidup yang sering meleset dari rencana, seperti cinta yang berakhir tiba-tiba, seperti cita-cita yang dibentuk dengan utuh lalu dibelah realita menjadi serpihan.

Rasa asam mengajarkan saya bahwa tidak semua hal bisa disempurnakan, tapi bisa tetap dikenang. Ia membuat saya mengingat yang pernah gagal tanpa membenci. Mengingat yang pernah hilang tanpa dendam. Mengingat yang belum selesai dengan setangkup senyuman. Seperti menyeruput kopi Arabika yang terlalu dingin, atau menggigit mangga muda meski tahu lidah akan mengernyit—saya tetap ingin tahu rasanya.

Karena mungkin, hidup yang layak dijalani bukan yang selalu manis atau sempurna, tapi yang bisa kita cicipi tanpa harus membohongi lidah sendiri.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *