16 potong lontong putih
berbaris seperti anak-anak yang belum tidur,
menunggu dongeng terakhir
sebelum dibungkus kantuk dan kenyataan esok hari
8 tempe rebus,
setengah tenggelam di kuah manis-gurih
seolah ingin hilang dari dunia
tapi tetap ingin dikenal sebagai lauk yang jujur
6 tusuk sate—
3 gajih, 3 daging sapi,
berdebat diam-diam
tentang mana yang lebih layak disebut kenikmatan
dan mana yang hanya lemak dari penyangkalan
bumbu kacang buram,
jadi panggung tempat semuanya pasrah
dihiasi irisan cabe
yang mengingatkan bahwa luka kecil
masih bisa terasa panas,
apalagi kalau disiram air hangat.
air hangat disajikan di gelas plastik,
ringkih tapi ramah.
hangatnya bukan dari suhu,
tapi dari harapan kecil
bahwa besok tak seberat hari ini.
aku makan di pinggir jalan,
di balik mobil keluarga kecil
yang mesinnya masih hangat—
seperti perdebatan dalam perjalanan tadi
tentang siapa yang harus lebih mengerti siapa.
jalan raya ramai,
tapi tidak semua yang melintas
tahu ke mana arah pulang.
beberapa hanya memutar,
seperti hidup yang setengah niat,
dan minim tujuan.
tukang parkir melambai,
lebih sabar dari dosen pembimbing.
Ia tak meminta banyak,
hanya dua ribu rupiah
dan sedikit pengakuan
bahwa kita pernah datang,
dan akan pergi.
malam makin matang,
di atas kendaraan yang di gas pelan
aku mengunyah segalanya
dengan tenang,
kecuali perasaan
Jogja, 15 Mei 2025