Di Spanyol, sepak bola jadi hiburan keluarga. Akhir pekan, kebanyakan keluarga di negeri matador itu menghabiskan berjam-jam duduk di ruang bersantai yang tentu jendela utamanya adalah televisi.
Pilihan lainnya, restoran jadi tempat berkumpul favorit. Hampir semua restoran, aturan yang jamak sudah diketahui: Bisa duduk di meja jika yang datang ialah rombongan yang saling terikat miminal mengenal. Lain tidak adalah keluarga.
Setiap meja biasanya muat 5-6 orang. 2-3 untuk anak-anak dan remaja, 2-3 untuk orang dewasa. Formasi yang manis untuk la familia alias sebuah keluarga. Sambil menyantap paella (sejenis nasi campur), mereka menyaksikan pertandingan sepakbola dari televisi yang menggantung.
Saat 90 menit selesai masih ada tradisi hidangan penutup yang disebut sobremesa — sebuah istilah yang mengandung arti bercakap-cakap setelah makan, antara lain seputar sepakbola.
Yang punya cukup uang, seorang Ayah Spanyol tak akan hitung-hitungan mengajak la familia nya — laki-laki ataupun perempuan, kecil ataupun dewasa— untuk merasakan atmosfer menonton sepakbola dari dekat.
Di stadion anak-anak belajar konsep hasil, ada dorongan untuk berkompetisi, bagaimana itu menang dan kalah, seperti apa rasanya unggul dengan taktik, dan seterusnya dan sebagainya.
Dan setiap Ayah punya tiket terusan (member card) yang memang disengaja untuk menonton sepakbola di akhir pekan. Dan itu hampir berlangsung setiap Minggu selama bertahun-tahun, sampai anak-anak itu bisa beli tiket sendiri.
Pendeknya, semacam ada aturan tak tertulis, yang kira-kira bunyi nya begini: jika ada orang tua yang tidak bisa membuat anaknya menyukai sepakbola maka ia adalah orang tua yang buruk.
Itulah Spanyol, sebuah negeri dengan ghirah sepakbola yang dihidupkan dari kelompok sosial paling kecil, dari rumah-rumah yang daun pintu nya bukan dari kayu mahoni, yang tak padam dan sedikitpun berkurang meski klub-klub Catalan kini main di Liga Eropa dan kalahan.
Tabik!
