Suara-suara yang Menyerupai Kita

Aku menyusun kenangan seperti batu bata.
tapi rumah itu selalu roboh
setiap kali kau diam lebih dari tiga hari.


Kau membangun rumah di telapak tanganku,
lalu marah saat aku genggam terlalu erat.
bagaimana jika aku hanya ingin
tempat berteduh tanpa merasa dipenjara?

**

Aku hanya ingin kau tinggal,
bukan terjebak.


Tinggal dan terjebak
kadang hanya dibedakan
oleh kata yang tidak diucapkan.

**

Kau tak pernah benar-benar pergi,
tapi kenapa setiap malam,
rasanya seperti aku kehilangan alamatmu?


Karena aku sering pulang
dengan suara yang tak sempat kau dengar—
aku pulang di antara detak jam
dan napasmu yang tidak pernah menyebut namaku lagi.

**

Di dadaku, ada ruang tamu yang kosong.
aku menyimpan teh hangat yang tak jadi kau minum.
meja masih menunggu lipatan tanganmu.


Di pikiranku, kau selalu berdiri di jendela
dengan pandangan yang tak bisa kubalas.
Kadang, aku ingin mengetuk.
Tapi siapa yang berani mengetuk
pada rumah yang sudah tidak percaya pada pintu?

**


Kalau suatu hari aku belajar menjadi sunyi,
itu karena aku tak bisa lagi menunggu
kata “pulang” keluar dari mulutmu.


Kalau suatu hari aku tidak kembali,
itu bukan karena aku lupa jalan.
aku hanya lelah
membawa seluruh tubuhku ke tempat
yang tak lagi ingin memelukku.


Lalu mereka diam.
tapi diam tak pernah netral:
yang satu menahan air,
yang satu menyimpan api.

Jogja, Juni 2025

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *