Tubuhku Adalah Rumah yang Selalu Pindah

Tubuhku terbuat dari koridor,
dinding-dinding yang terus berpindah warna
tanpa sempat mengeringkan cat lama.

Di dada ini,
lantai-lantai berderak pelan—
suara kenanganmu yang pulang
lalu pergi, pulang
lalu pergi
tanpa permisi.

Aku adalah rumah yang dibangun
dengan palu rindu dan paku kehilangan.
Atapku bocor oleh ingatan
yang tak sempat kau tutup dengan kata maaf.

Setiap malam, jendela tubuhku terbuka:

memanggil namamu
dalam bahasa yang hanya angin mengerti.
Tapi kau lebih sering jadi badai,
bukan pulang.

Pernah suatu waktu,
seorang perempuan berdiri di ambangku
membawa cahaya di kedua matanya.


Aku membiarkan dia masuk
dan ia menata ulang ruang tamuku
dengan tawa yang tak kupahami
tapi kusukai.

Tapi perempuan itu juga pergi,
meninggalkan sandal tipis dan satu teh setengah habis.
Sejak itu, aku tak pernah menyeduh air
tanpa ingat langkahnya yang ringan
meninggalkan suara
di setiap ubin.

Tubuhku tidak pernah punya alamat tetap,
karena semua peta menuju aku
telah disobek oleh orang-orang
yang tak jadi menetap.

Maka, jika suatu hari kau datang
mencari rumah yang pernah kau tinggali,
berhentilah di mana langit terasa lebih berat dari kepala,
di mana angin berbisik:
“Ia masih menunggumu, meski ia sudah belajar tidur tanpa pintu.”

Jogja, 7 Juni 2025

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *