Terbit di Kumparan, 23 November 2022
Argentina menang dari Arab Saudi. Kalau saja teknologi bernama VAR tak menangguhkan 2 gol Argentina, maka skor akhir bukan 1-2 untuk kekalahan Argentina. Tapi itu cuma ilusi.
Yang terjadi di Stadion Lusail adalah sebuah fragmen kesedihan juga kepedihan, Argentina dua kali membawa bola ke bulatan tengah lapangan, dan Saat wasit meniup peluit panjang berkahirnya laga, para pemain dari negara Petro Dollar itu berhamburan ke lapangan hijau. Meneruskan sujud syukur atas dua gol yang terasa ‘serba ajaib’ itu. Amboi, betapa luas dan indahnya bumi Allah ini.
Dengan begitu, rekor tak terkalahkan La Albiceleste berhenti di angka 36. Lalu apa selanjutnya yang hendak diperbuat Argentina? Apakah sebaiknya Lionel Scolani membenturkan kepalanya ke pintu masuk ruang ganti? agar supaya pikirannya moncer dalam meramu taktik.
Ataukah perlu Lionel Messi mengajak rekan-rekannya nongkrong sambil meminum mate (teh khas Amerika Latin) di tengah terik matahari Qatar, agar rileks sejenak, bercakap-cakap dan menghasilkan tawa, lalu kembali ke lapangan dengan gembira dan menjadikan lawan mereka sebagai lelucon, sebagaimana yang sudah-sudah.

Kesedihan Bagi Argentina
Sebagai kesebelasan yang punya tradisi menang, kekalahan tak mungkin sepenuhnya diterima, penyelesaian terbaik dari situasi buruk itu adalah tegak kembali, Argentina tak boleh tertunduk layu.
Sejak Diego Maradona berhasil memimpin orkestrasi pada 1986, Argentina belum pernah juara Piala Dunia lagi. Dan yang paling pedih terjadi pada tahun 2014 lalu, bermain di Stadion Maracana Rio De Janiero, dunia menyaksikan Jerman memberi tangisan kepada Argentina, tanpa menyediakan tisu.
Padahal selangkah lagi La Albiceleste mengangkat trofi emas yang paling didambakan. Tapi gol dari Mario Gotze yang masuk sebagai pemain pengganti membuat Argentina hanya memandang angan-angan.
Argentina ketika itu tak lebih dari barisan laki-laki dewasa yang memasang wajah sedih paling natural. Lihat saja Sergio Aguero yang tak bisa menyembunyikan matanya yang merah dan berair.
Angel Di Maria barangkali membuat satu dua rumput tumbuh karena air matanya tak bisa kompromi untuk tidak jatuh. Ezequiel Lavezzi dan Alejandro Sabella bergantian menenangkan gemuruh hati Mascherano.
Orang-orang berpikir — dan memang benar adanya — kesedihan itu seketika membuat satu Argentina serempak menjalani kehidupan sehari-hari yang sulit, yang bertahun-tahun terobati oleh sepakbola; jaminan kesehatan yang buruk, perekonomian morat-marit, akses pendidikan yang macet, tata kelola birokasi yang semrawut dan seterusnya.
Kekalahan atas Jerman tempo hari itu merumuskan bahwa semua kenyataan hidup di atas menjadi lebih berat untuk ditanggung.
Argentina Belum Boleh Menangis
Mengawali laga yang semula akan gampang tetapi kenyataan malah nol besar, membuat Argentina berada dalam tekanan dan tekanan itu menciptakan beban psikologis.
Apalagi Argentina oleh banyak pihak secara tidak adil dan agak memaksakan ditempatkan sebagai salah satu favorit juara Piala Dunia 2022, bagi saya ini tak lebih dari imaji untuk melihat seorang Lionel Messi melengkapi kariernya yang gemilang dengan cara mengangkat trofi emas itu.

Kalau sampai gagal pada kesempatan kali ini, maka Lionel Messi mestinya benar-benar akan menangis. Namun sebelum bayang-bayang buruk itu terjadi, Argentina belum boleh menangis.
Dan Argentina bisa dibilang beruntung karena dua lawan mereka Meksiko (27/11) lalu Polandia (1/12) bermain imbang tanpa gol di pertemuan pertama. Hitung-hitungan masih memungkinkan. Argentina harus memastikan 3 point penuh dan bila perlu dengan selisih gol yang meyakinkan di dua laga tersebut.
Jangan sampai menggantungkan nasib pada hasil pertandingan tim lain, seperti yang terjadi ketika mereka terhuyung-huyung saat lolos fase grup di Piala Dunia 2018 lalu.
Argentina tak boleh tegang apalagi sampai terkena sindrom kepanikan. 36 laga yang sulit sudah dilewati dan mental mereka rasanya tak akan runtuh hanya karena satu kekalahan. Argentina punya waktu yang cukup untuk membangun kembali mentalitas pemenang.
Piala Dunia 2022 ini adalah pertempuran penghabisan bagi para serdadu Argentina, dan lambang matahari keemasan di tengah langit biru yang menempel di dada sebelah kiri mereka akan membersamai perjuangan itu.
Kalaupun nanti Argentina menangis, mereka tahu bahwa menangis yang gagah bukanlah saat ketika kalah.
Tabik!