Terbit di Kumparan, 23 Agustus 2022
Dalam pandangan saya yang terbatas dan rawan keliru, upacara bendera, apalagi tahunan seperti HUT RI, selalu begitu-begitu saja. Lama dan menjenuhkan.
Dalam suasana yang berulang itu, sulit untuk menghadirkan klaim kalau upacara adalah sebentuk penghormatan atas jasa-jasa para pahlawan yang gugur untuk tegaknya bangsa ini.
Toh, upacara acapkali hanya sebatas mengenang tidak lantas mereflesikan. Tidak ada atau katakanlah minim sekali perasaan khidmat.
Omong-omong soal upacara bendera, tahun ini bukan Paskibraka yang jadi bintang panggung. Melainkan seorang bocah asal Banyuwangi.
Istana Negara adalah simbol. Arsitekturnya dibuat indah tetapi sekaligus angker. Tempat di mana para elit singgah dan bercokol. Pertemuan-pertemuan politik diadakan. Bukan sembarang orang diperkenankan masuk.
Maka ketika ada yang memberi panggung khusus untuk dangdut koplo dalam perayaan hari kemerdekaan, bagi saya itu adalah ide gila yang brilian. Hal baru yang mengapa sejak lama tidak dicoba?
Kita butuh tontonan yang memperlihatkan bangsa ini mampu menerabas protokoler yang ketat. Birokrasi yang bertingkat rumitnya. Dangdut mengusung antitesa demikian.
Promotor. Pembisik. Humas rezim. Atau apa sajalah untuk menyebut orang yang membuat Farel Prayoga bisa datang dan dengan mantap menyanyikan lagu ‘Ojo Dibandingke’, dan dengan lagu itu, ia berhasil membuat para pejabat negeri ini berjoget-joget — kepadanya saya terkagum-kagum.
Sudah sepakan lewat, tetapi kekaguman saya masih tetap deras seperti ketika pertama melihat video itu beredar di sosial media.
Dangdut dan Tipu-tipu Politik
Kerap dilabeli sebagai musik kelas bawah, pada hari itu, di Istana Negara dangdut justru diperdengarkan sebagai hiburan untuk para elite.
Dan segera menjadi jelas kalau pembawaan diri yang menunjukkan pertentangan kelas sosial tak bisa disembunyikan. Cara mereka menikmati dangdut sudah pasti berbeda dengan kita masyarakat biasa ini.
Seberapapun menyenangkannya melihat pejabat-pejabat kita yang paruh baya dan berbusana adat itu berjoget-joget. Tetap saja terang, mereka hanyalah orang-orang tua yang menghabiskan sisa umurnya dengan sedikit kebaikan sambil menipu.
Dan dangdut hanyalah salah satu instrumen yang rutin digunakan untuk beragam tipu-tipu yang berusaha rapat-rapat mereka sembunyikan.
Namun lagi-lagi tetap saja jelas, tak ada keluwesan dalam gerak yang coba dibuat berirama dari para kumpulan pejabat itu.
Melihat cara pejabat-pejabatnya itu berjoget saya jadi teringat kalimat pendek Goenawan Mohammad tempo waktu, bahwa Tuhan katanya, memberi manusia bakat musik dan kemampuan untuk menghargai yang musikal.
Dan tak sedikitpun saya melihat pemberian itu cocok pada mereka yang coba mendekati dangdut.
Tulang badan mereka hanya terlatih untuk mengangguk dan membungkuk pada atasan, yang bisa kita artikan sebagai seorang dengan posisi jabatan lebih tinggi, atau uang, dan segala jenis ketamakan yang merujuk pada kepalsuan dan kesementaraan.
Para pejabat kita memang hobi menempel di mana saja, dan gampang belaka untuk menyelinap dalam kelambu musik.
Sejak lama saya meyakini, tanpa dangdut kreativitas menjadi macet dan perpolitikan di Indonesia akan sepi. Dangdut dan politik bagai cembul dapat tutupnya. Sesuai. Politik tanpa dangdut bagai sayur tanpa garam. Terasa kurang enak di lidah.
Lupakan Sejenak dan Mari Berjoget
Perlu ditekankan kembali bahwa satu lagu dangdut di Istana Negara itu statusnya sebagai penghibur saja, tidak lebih. Dorongan dari efek viral yang berakhir jadi konten. Populisme dalam ruang politik Indonesia kian tak bisa dihindari.
Joget-joget di Istina Negara itu adalah sebuah interteks, bahwa bangsa ini selalu punya cara untuk melupakan segenap permasalahan menahun, di antara cara yang asyik tentu saja adalah berjoget dangdut.
Lupakan sejenak bahwa per Juli tahun ini, utang pemerintah mencapai Rp 7.163,12 trilliun. Lupakan sejenak bahwa pembangunan teknologi informasi dan komunikasi kita tertinggal sangat teramat jauh. Kita berada di posisi 114 dunia dengan indeks hanya 4,33 point.
Lupakan sejenak kalau sistem keamanan intelijen kita rentan bocor. Lupakan sejenak kalau kualitas pendidikan kita makin terdegradasi. Alangkah banyaknya yang harus dilupakan.
Pokoknya, lupakan sejenak dan mari putar lagu-lagu dangdut dan mari berjoget.
Tabik!