Terbit di Kumparan, 2 Agustus 2022
Berhubung situs porno sana sini sudah diblokir, bukan alang kepalang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencari kesenangan baru.
Kementerian yang pada pada awal dibentuknya bernama Ditjen Penerangan (1945-1999) itu kini citranya menjadi gelap. Lebih tepatnya memang sudah gelap sedari awal. Barangkali Kominfo memang ingin terus bergelap-gelapan, dalam artian hal apa saja yang memicu kontroversi bakal diorbitkan.
Terbaru ada aturan mengenai Penyelanggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020. Astaga, barang apakah ini? Ringkasnya, PSE adalah kebijakan nasional yang mengatur perizinan aplikasi yang beredar di Indonesia.
Tujuannya apa? Melindungi masyarakat agar tidak mudah terjebak pada platform digital. Memberi perlindungan? Sungguh gombal yang sulit dimengerti. Tapi begitulah penjelasan tertulis dari Kominfo.
Mengapa Kominfo Melakukan Blokir?
Membuat kebijakan nasional adalah salah satu Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) Kominfo, bertanggung jawab atas hajat hidup orang-orang yang dirugikan atas kebijakan tersebut sudah pasti tidak masuk dalam tupoksi.
Terhitung sejak 30 Juli 2022, platform Steam, Epic Games Store, dan aplikasi PayPal diblokir. Game online populer seperti Dota, Counter Strike, dan Origin alhasil juga terseret-seret.
Beberapa platform game dan pembayaran online itu di atas dianggap bandel karena pada batas waktu yang ditentukan belum juga mengurus status sebagai Penyelanggara Sistem Elektronik (PSE) privat global ke Kominfo.
Padahal bukan kurang serius Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengingatkan urgensi kebijakan nasional yang dianggap baik tersebut. Alangkah hebatnya Kementerian yang satu ini.
Bahkan sedari jauh-jauh hari sebelum tagar #BlokirKominfo viral, Bapak pemblokiran nasional kita, Johnny G. Plate, sudah turun tangan langsung untuk melalukan sosialisasi, hampir berbusa-busa ia menjelaskan ke perusahaan teknologi yang asing maupun yang lokal.
Kurang baik apa juga, tenggat waktu yang semula 20 Juli diperpanjang sampai 27 Juli. Surat edaran dan teguran juga sudah disampaikan. Dan seperti yang telah dijanjikan, kalau tetap tak taat aturan, maka blokir tak bisa dielakkan.
Janganlah Anda terheran-heran, menepati janji itu kan sudah jadi watak dan teladan politisi di lembaga negara. Lepas dari janji itu tidak membuat kita senang dan malah mencak-mencak tak karuan di sosial media itukan persoalan sampingan.
Lagi pula, kita sendiri yang kecewa apa memang paham duduk persoalan? Untuk jadi cerewet dan seolah memikirkan hajat hidup orang lain tak perlulah paham-paham amat. Solidaritas yang utama. Meninju angin atau tidaknya itu belakangan saja.
Beberapa Pertanyaan Untuk Kominfo
Atas dasar solidaritas itulah kita jadi bertanya-tanya, apa kabar dengan situs judi online yang sekalian promosi layanan seks online itu, bagaimana bisa lolos aturan PSE? Apa mungkin situs-situs ‘hitam’ itu bayar pajak yang nominal pajaknya lebih besar dari aplikasi global seperti PayPal?
Bagaimana pula nasib 33 juta pekerja lepas yang biasa menggunakan PayPal? Lalu bagaimana dengan perkembangan industri Esport yang menjanjikan itu?
Juga tentang keamanan data pribadi kita yang sangat rentan dan berulangkali sudah disalahgunakan? Menjamurnya aplikasi bodong dan pinjaman online? Tidakkah juga terpikirkan tentang urgensi RUU Penyiaran?
Entahlah, sampai dengan Johnny G. Platte mencukur habis kumis tegasnya itu, kita mungkin tidak akan mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.
Sebetulnya kalau diteruskan daftar pertanyaan yang juga berupa tupoksi Kominfo tersebut akan sangat panjang, saya jamin lebih berderet-deret daripada portofolio Johnny G. Plate yang tak pernah sekalipun mengurus hal-hal yang yang berkaitan dengan jabatannya saat ini.
Pengalamannya lebih banyak di sektor energi dan migas. Tidak Kominfo sekali.
Apakah saya bilang Bapak pemblokiran nasional kita yang pernah jadi Sekretaris Jendral Partai Nasdem itu inkompeten dan jabatannya cuma balas jasa politik semata? Anda bisa telusuri rekam jejaknya maka gampang saja untuk menjatuhkan vonis sendiri.
Mari kita buat perumpamaan yang ringan-ringan saja. Anggaplah Kominfo ini satu tubuh boneka dengan kerangka manusia. Kalau bagian kepalanya saja salah pasang, pantas saja tangan seringkali salah tempat garuk. Kaki-kaki berjalan tak tentu arah. Dan seterusnya. Dan sebagainya.
Menyoal PSE Kominfo
Di abad kiwari yang sudah terang benderang begini, masih saja Kominfo bermain sulap dengan aturan-aturan yang meremehkan nalar publik.
Menjadi wajar jika timbul kecurigaan rasional. Sebab ruang digital kita terus direcoki. Dan urusan blokir ini hanyalah gejala permukaan dari setumpuk persoalan yang lebih membuat kepala pening.
Dalam peraturan tersebut terdapat beberapa hal yang dapat dengan serius kita pertanyakan. Satu diantaranya Pasal 9 ayat (4) yang melarang PSE Lingkup Privat untuk menayangkan konten dengan muatan ‘meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Frasa yang saya beri tanda petik di atas, pastilah ada pada area tafsir yang berbeda dengan pengertian publik. Yang itu sangat rentan digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap individu maupun kelompok yang selama ini dengan baik hati dan konsisten mengkritisi pemerintah.
Pemblokiran terhadap beberapa PSE lingkup privat dan keberadaan regulasi ini jelas-jelas tidak hanya merugikan penyedia layanan digital, namun turut mengancam kebebasan berpendapat, berekspresi, dan juga data masyarakat, data kita semua di ruang digital. Dan seterusnya dan sebagainya.
Ketika menulis catatan ini, saya teringat dengan Tante saya yang sedang hamil dan sangat ingin anaknya kelak bekerja di Kementerian. Gara-gara Kominfo bergejolak keinginan itu perlahan luntur
Jangan sampai para Ibu hamil yang saat ini jumlahnya mungkin berjuta-juta, mengusap perut sambil berkata amit-amit untuk calon bayinya, “Kalau besar jadi apa dan kerja apa saja boleh, asal jangan Kominfo ya, nak.”
Kalau ini sampai terdengar oleh Johnny G. Plate, bisa-bisa kumisnya rontok.
Tabik!