Terbit di Orang Ramai.id, 2020
Di luar sedang hujan, jalanan basah, orang-orang sibuk bergegas, ada yang berteduh lebih banyak melanjutkan perjalanan. Jam dinding berdetak, mata yang satu bersitatap dengan lainnya, percakapan berlangsung menembus tembok, asap rokok mengudara.
Di sebuah kedai yang ramai, di tepi kota. Saya duduk, sibuk berbicara dengan diri sendiri, 30 menit yang lewat laptop menyala, sedang catatan belum sampai lembar. Aroma kopi di sisi kanan saya menyeruak, masuk ke hidung, mata terpejam.
Sebentar kemudian, tiba-tiba tanpa sadar saya mulai mengetik lagi, sambil mengingat-ingat sesuatu. Entah semenjak kapan, kisah ini sampai di telinga saya, sependek ingatan saya pernah diceritakan langsung oleh seorang guru.
Sebuah kisah yang membuat saya berkontemplasi sambil memunguti kembali ingatan masa lalu, satu persatu. Saya tulis catatan ini dengan maksud menceritakan ulang satu kisah, kiranya beginilah jalan kisah itu ;
Kisah Sepotong Baju dan Jalan Pulang
Ia memang orang kaya, konon sangat kaya sekali. Jika ukuran kekayaan itu tercermin pada atribut yang melekat. Maka dalam sejarah dan riwayat-riwayat, ia salah seorang sahabat yang di masa Rasulallah termasuk dalam golongan laki-laki yang berharta.
Tapi kejadian kecil hari itu memberinya pelajaran mahal tentang kekayaan yang ia miliki. Pelajaran untuk dirinya. Tapi lebih penting lagi adalah pelajaran untuk orang-orang setelahnya. Semisal kita, yang mau membaca kehidupan dan ingin memetik pelajaran dari kisah para sahabat, orang-orang dekat Rasulallah yang terkasih.
Satu waktu lelaki kaya itu hadir di majelis Rasulallah, seperti biasa bersama sejumlah sahabat. Dalam suasana yang khidmat, tiba-tiba datanglah seorang sahabat lain, ia mengambil posisi duduk persis di samping sahabat yang kaya itu.
Sahabat yang baru saja bergabung dengan majlis itu adalah sahabat yang faqir lagi miskin, yang bajunya tak lebih indah dari bulu-bulu domba.
Seketika, sahabat yang kaya itu menggeser duduknya dan hendak menjauhkan pakaian mewahnya. Nampaknya ia takut jika bajunya tersentuh sahabat lain yang miskin tadi.
Rasulallah yang menyaksikan kejadian tersebut, rona wajahnya berubah seketika. Lalu berkatalah, ” Wahai fulan, apakah kamu takut kekayaanmu akan menyakiti dirinya? Ataukah kamu takut kemiskinanya akan menyakiti dirimu?”
“Wahai Rasulallah, apakah kekayaan itu bisa menjadi keburukan?’” tanya lelaki kaya itu.
‘Ya, kekayaanmu mengantarkan kamu ke neraka. Sedang kemiskinan saudaramu mengantarkannya ke surga,” jawab sang Rasul.
Mendengar hal tersebut, sahabat yang kaya itu terperanjat. Menyadari kekeliruanya, lantas ia bertanya, ”Bagaimana agar aku selamat?”
” Bantulah dia, ” jawab Rasulallah
“Kalau begitu, akan aku lakukan.”
Mengejutkannya, sahabat yang miskin itu menyahut, ” aku tidak butuh bantuannya.”
Rasulallah menjawab, ” kalau begitu, mohonkanlah ampun untuk saudaramu itu, maafkan dan do’akan kebaikan untuknya. “
Tanpa ragu oleh sahabat itu dilaksanakanlah apa yang Rasul sarankan.
Menuai Hikmah dari Kisah
Seujung baju yang takut tersentuh orang miskin adalah pelajaran tentang simbol-simbol. Ya, dalam hidup ini kita sering lupa dengan tujuan dan terjebak oleh simbol-simbol. Lalu, apa kaitannya dengan jangan terlambat pulang?
Kisah sepotong baju yang pemiliknya takut tersentuh orang miskin itu adalah pelajaran tentang jalan pulang. Lelaki kaya itu sedang menuju jalan cita-citanya, bersama kafilah Rasulallah. Tentu ujung jauh pengharapannya adalah surga.
Tapi di tengah jalan sebuah peristiwa yang terlihat kecil telah membuatntya keluar dari jalur. Ia bisa saja melaju ke neraka bersama kekayaan yang ia sombongkan. Pelajaran pertama, kekayaan, kesombongan akan menghantarkanmu pada hal-hal yang buruk.
Dibalik sikap awal yang sombong itu, sahabat Rasulallah yang kaya itu, sesungguhnya juga mengajarkan kepada kita sebuah sikap berikutnya yang luhur. Usai diingatkan Rasulallah, ia segera sadar.
Pertanyaanya kepada Rasulallah bagaimana dirinya bisa selamat dari neraka, adalah pertanyaan tentang bagaimana ‘jalan pulang’ dari salah arahnya. Bagaimana agar ia bisa kembali di jalur yang lurus. Setelah diberitahu jalannya, yakni dengan cara membantu sahabat yang miskin sebagai bentuk ‘jalan pulang.’
Hal itu membuktikan sikap mulia lainnya, bahwa ia adalah seorang mukmin yang tidak ingin menunda-nunda pulang ke jalan yang benar. Adapun sahabat yang miskin, mengajarkan sikap terhormat lainnya. Meski jalan pulang sahabat kaya itu berbentuk kompensasi untuk dirinya yang miskin, tapi ia tetap zuhud dan menolak bantuannya. Tak ada aji mumpung, apalagi pemerasan.
Tak sampai disitu, Rasulallah juga mengajarkan kemuliaan lainnya, ketika meminta yang miskin memohonkan ampun dan mendo’akan untuk si kaya. Adalah pelajaran soal tanggung jawab dan persaudaraan. Bahwa ketika ada saudara kita yang keliru, keluar dari jalan cita-citanya, atau menyimpang ke neraka, maka kita berkewajiban membantunya untuk segera pulang.
Kisah di atas sesungguhnya adalah lautan hikmah. Himpunan pelajaran yang lengkap : Tentang jati diri, cita-cita, harga diri, kebersamaan, zuhud, tolong menolong, dan do’a. Kesemua itu untuk sebuah tujuan : Pulang. Kembali ke jalan harapan : adalah surga. Bukankah kita semua bermula dari Surga, dan tidak kah cita-cita paling mulia adalah kembali atau pulang ke rumah yang hakiki?
*****
Pada mulanya ketika kita beranjak dewasa, kita menjadi mengerti mana jalan yang baik dan buruk. Umumnya manusia ingin hidup dalam kebahagiaan, meski jalan menujunya berbeda-beda. Kita sadar bahwa hidup sengsara itu tidak mengenakan. Tak ada orang yang sehat pikir yang by purpose ingin sengsara.
Persis seperti do’a harian yang kita hafalkan semenjak masih kanak-kanak. ‘ Ya Allah anugerahkan kepada kami kebaikan di dunia, dan juga kebaikan di akhirat. “
Isi dari do’a di atas yang seharusnya menjadi tujuan akhir manusia. Menuju ke rumah akhir yang diinginkan setiap orang, apalagi kalau bukan surga. Namun dalam perjalanannya, terdapat banyak godaan, dianatara kita ada yang banyak singgah, mampir di lorong-lorong kemalasan. Sejenak dua jenak, tak juga beranjak.
Lalu tau-tau kita sudah pergi jauh dari jalan ke rumah akhir kita. Seperti pengendara mobil yang keluar dari jalur, atau keliru arah. Lalu tiba-tiba , entah sadar ataupun tidak, ternyata kita sedang menaiki kendaraan ‘hidup’ ke ujung yang bukan rumah kita : adalah Neraka.
Masalahnya lebih banyak dimulai dari persepsi, keyakinan, dan sudut pandang yang keliru. Pandangan keliru itu berupa perumpamaan sepotong baju yang dipersepsikan akan terkotori oleh seorang yang dianggap miskin.
Manusia seringkali bangga diri atas hal-hal lahiriah yang dipunyai-Nya ; Tampang, status sosial, harta, pakaian mewah, kiprah politik bahkan intelektualitas. Hal yang demikian, sesungguhnya adalah tipu daya syetan, ia membalikan persepsi manusia. Membuat orang-orang menganggap baik perbuatan buruknya..
Seperti mereka yang menjalani hidup dengan jarum jam untuk menghitung waktu, mengatur jadwal diri, tapi memiliki kompas sebagai penunjuk arah. Orang-orang seperti ini banyak terlihat sangat sibuk, letih dan lelah , jadwalnya padat. Satuan kalkulasi transaksi kesibukannya adalah menit.
Tapi mereka tidak sadar tengah berjalan ke arah mana. Mungkin ke neraka. Mungkin juga ke surga tapi lewat neraka untuk waktu yang sangat lama.
Sepotong baju adalah perlambang, sehelai kain adalah simbol. Di baliknya ada kisah kekayaan atau kemiskinan yang melahirkan sikap demi sikap. Kita menyaksikan, dalam hidup ada banyak sekali perlambang dan simbol yang semu menggoda.
Telah banyak orang-orang yang keluar dari jalan cita-citanya, lantaran godaan simbol-simbol yang sederhana, remeh, bahkan tak bercita rasa.
Di hamparan kehidupan ini, terlalu banyak orang-orang yang harus di kasihani, karena mereka berjalan di luar lajur. Tak ada kata yang tepat bagi mereka, kecuali ucapan, ” Pulanglah dan jangan sampai terlambat. “
Orang-orang itu bisa siapa saja. Tak terkecuali diri kita sendiri. Karenanya, jangan terlambat pulang, ke jalan jati diri dan ujung harapan kita. Agar tak menuai sesal dikemudian hari. Renungkanlah nasehat A. Hasmy dalam syairnya,
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang sembahyang
Batang usianya sudah tinggi
Aku lalai di hari pagi
Beta lengah di masa muda
Kini hidup beracun hati
Miskin ilmu miskin harta
A. Hasmy
Pukul tiga pagi, saya mengakhiri catatan ini. Orang-orang yang datang dengan kekasih dan pakaian mewahnya, mulai beringsut dari kursinya masing-masing. Hujan sudah reda, api rokok telah padam, kopi tinggal ampas, tapi jam masih berdetak.
Jaket berwarna biru yang sedari awal tergeletak di meja, saya kenakan. Lalu saya cepat-cepat melangkah ke kasir, menyebut pesanan. Sebentar kemudian, pulang. Membawa kisah-kisah. Menuai hikmah.