Dimuat di Facebook pribadi, 15 Agustus 2021.
Angin Agustus mengantar gerimis ke pipi dan air mata tak cukup untuk menjelaskan betapa sedihnya saya.
Salah satu sosok yang saya hormati dan ikuti petuah-petuahnya, kemarin siang wafat :Bahrudin Ibrahim bin Ibrahim.
Saya memanggilnya Akas Din —- istrinya Hasni adalah adik dari kakek kandung saya Darusman.
Akas Din adalah guru mengaji di kampung, puluhan tahun, di sebuah musholla kecil tak jauh dari rumahnya, ia mengajar ilmu akhirat, ia mengajarkan sesuatu yang oleh para orang tua di kampung kami tak bisa mereka ajarkan pada anak-anak mereka sendiri.
Banyak yang bisa menghidupi anak istri juga keluarga besar dengan segepok uang, tapi untuk urusan agama, mereka payah.
Di kampung kami, jumlah orang yang bahkan hanya sekedar tahu huruf-huruf Qur’an —jangankan membacanya dengan baik — masih sangat sedikit, dan kalau bukan karena Akas Din jurang kebodohan itu akan makin dalam dan terwarisi, dan bisa dipastikan satu generasi akan tumbuh dengan moral yang lebih nyungsep lagi.
Saya ingat betul tahun-tahun ketika saya masih bocah, sekitar 2010, narkoba, judi, dan mencuri motor, adalah beberapa perilaku buruk yang melekat pada kampung kami.
Orang-orang luar menyebut Bantan untuk menandai sebuah tempat yang buruk. Dan Akas Din jadi semacam oase.
Tiap-tiap sore menjelang Maghrib hingga sesudah Isya. Mungkin 2-3 jam, selama 6 hari dalam sepekan, bocah-bocah SD-SMP, dan tak sedikit juga yang akil baligh SMA, ada di musholla bergantian untuk belajar mengenali Tuhan, lewat Akas Din.

Di musholla kecil tak jauh dari rumahnya itu, Akas Din membangun karakter anak-anak, untuk pandai membedakan hitam dan putih, dan tidak jadi pribadi yang cengeng.
Dari situ, dari musholla yang sempat ada kamar khusus baginya untuk menunggu waktu shalat sambil berdzikir, sesungguhnya jarak Akas Din dengan Tuhan begitu dekat, tergambar dalam bait sajak Abdul Hadi WM, “Seperti kain dengan kapas. Aku kapas dalam kainmu,”
Akas Din adalah kain dalam kapas-Nya. Di hari-hari yang tua, Akas Din jauh lebih romantis lagi dengan Tuhan, hembusan nafas dan lantunan ayat-ayat Qur’an nya, seolah, “Seperti angin dengan arahnya,”
Saya pernah masuk ke kamar Akas Din di musholla itu, dan pencahayaan memang diatur sedikit. Baris lain lanjutan sajak di atas, “Dalam gelap, kini aku nyala. Pada lampu padammu,”
Saya sedih hanya bisa menghantar Akas Din ke pusaranya dari jauh dan dalam do’a-do’a — seperti tempo hari ia berpesan. Surga untukmu, sampai jumpa dan ngopi sampai jumpa dan ngopi dan ngaji lagi di lain waktu, Akas Din.
Untuk Bahrudin Ibrahim bin Ibrahim, Al-fatihah…..
Tabik !