Dimuat di Facebook pribadi, 10 Desember 2024.
Seharusnya lelaki ini yang memberikan adok atau gelar kehormatan adat pada saya. Tapi jodoh saya belum kunjung datang dan alangkah remuk hati ini lantaran ajal lebih dulu meminang Akas Yal.
Budayawan dan pujangga Komering kebanggaan kampung kami ini berpulang pada 17 November lalu. Ketika kabar lelayu ini sampai ke telinga lewat pesan singkat Papa Asrul Darma via WA, saya cuma bisa berucap; Innalilahi Wa Innaliahi Rajiun dan lekas mengirim Al-Fatihah.
Usai itu, dunia rasanya sejenak berhenti berjalan. Kesadaran saya mengawang-awang di langit kamar. Ingatan saya terbang jauh pada sebuah malam di sekitar tahun 2005.
Nun ketika itu, Mama Ita Rul membawa saya yang masih ingusan ke rumah Akas Yal untuk meminta izin agar tahun kelahiran saya bisa disiasati.
Jadilah di umur 5 tahun saya bisa bersekolah. Tanpa harus berasyik bermain-bermain di taman kanak lebih dulu.
Ya, itu berkat kemurahan hati Akas Yal. Kalau ingatan saya tidak berlubang, lelaki petarung ini adalah wakil kepala sekolah SD N 2 Bantan.
Tahun lalu pada 2023 yang sendu, saat saya pulang kampung, Mama dan Papa meminta saya untuk segera menjenguk Akas Yal.
Tanpa dimintapun setiap pulang saya pasti selalu menyempatkan untuk berkunjung ke rumah sanak famili.
Menjumpai dan mengobrol lepas dengan para kakek-nenek dari keluarga kami yang besar. Termasuk ke rumah Akas Yal. Tapi tahun 2023 lalu berbeda. Kesehatan Akas Yal rupanya tengah merosot.
Maka datanglah saya bersama Surya, adik nomer 3 yang juga kebetulan studinya tengah libur. Alangkah terkejut ketika saya menyambut punggung tangan Akas Yal untuk salim.
Lelaki tinggi tegap gagah perkasa ini berbaring di kasur. Padahal biasanya saat berkunjung kami menghabiskan waktu bercakap di kursi.
Pipi montoknya sudah tak lagi terlihat. Padahal kalau sedang bercerita saya kerap sekilas memandang pipi gemoy milik Akas Yal itu.
Apa mau dikata, di malam tanpa bintang di dalam rumah yang berhadapan dengan Masjid At-Taqwa itu, suasananya menjadi lain.
Akas Yal memang masih semangat bercerita. Namun ingatannya sudah melompat jauh. Saya sempat tak dikenalinya sebagai seorang Bara.
“Niku na anak sapa yo,” ucap Akas Yal di awal sambil menatap wajah manis saya, salah seorang cucu nya yang sudah tumbuh besar.
Tapi berkat bantuan Umbai Ris, kekasih hatinya yang merupakan adik Akas Darus, ingatan Akas Yal datang kembali.
“Sija Bara. Anak meranai Ita-Rul. Umpu kesayangannya kiyay Darusman setuha,” timpal Umbai Ris yang membuat senyum di wajah Akas Yal tebit.
Lalu sambil ayot-ayot alias memijat badannya, Akas Yal menggelar tikar cerita yang panjang. Lelaki bernama lengkap Syahrial Niti Agama Syahrial Niti Agama ini memutar pita memori ingatannya.
Saya mendengar dengan antusias setiap cerita-cerita Akas Yal. Walau hati saya sebenarnya berdesir pilu.
Saya bisa menangkap kesedihan di mata Mang Fahmi Fahmi S W , putra yang amat dicintai oleh Akas Yal. Juga pada wajah cantik yang sendu pada Umbai Ris.
Namun saya katakan bahwa Akas Yal harus segera sembuh. Karena saya ingin, sekali lagi, budayawan dan pujangga Komering kebanggaan kampung kami ini jadi MC dan memberi saya gelar adat di hari ketika saya merayakan cinta dengan pujaan hati.
Saya juga ingin seperti Pak Jokowi yang pada 2018 oleh Akas Yal diberi adok Raja Balak Mangkunegara.
Apapun gelar kehormatan yang bakal disematkan oleh Akas Yal, itu pasti akan membuat saya merasa lebih lengkap sebagai lelaki Komering tulen.
Maka saya katakan, saya bakal menikah di Jogja. Dan kalau saya punya cukup uang, Akas Yal dan keluarga akan saya boyong. Saya tanggung ongkos pesawat sekaligus tempat tinggal di Kota Istimewa ini.
Saya selalu ingat cerita Mama yang bilang Akas Yal dulu pernah membawakan saya oleh-oleh khusus berupa baju dan blangkon yang dibelinya di Pasar Malioboro.
Barangkali karena itu jugalah Tuhan menyediakan jalan bagi saya untuk bisa menimba ilmu di Jogja.
Jadi, saya ingin menghibur Akas Yal dengan bumbu sedikit kelakar. Agar dia cepat sembuh dan bisa melancong kembali ke Jogja.
Tapi rupanya suratan nasib tak bisa mengikuti harapan manusia. Akas Yal meninggal dan saya masih di Jogja membujang sambil terus berjuang mengubah nasib; sebagai seorang buruh di perusahaan yang baru kami rintis.
Kesedihan saya berlipat ketika ditampar kenyataan lantaran belum bisa pulang ke kampung untuk sekadar ikut meyasinkan.
Mungkin nanti saya akan datang berkunjung lagi dan mendengar cerita di rumah baru Akas Yal; di nisan yang tanahnya masih lembab karena dibasahi oleh doa-doa.
Al-Fatihah…
Tabik!!!