Dimuat di Facebook pribadi, 16 Agustus 2021.
Setiap pulang kampung, saya tak pernah absen untuk mengunjungi rumah Akas Din. Bersama sepupu saya, Yay Darma Varadi
Kami biasanya selalu berkunjung malam, dan hampir tak pernah melewatkan obrolan ganyeng tanpa ‘ayot-ayot’.
Akas Din menyerahkan tubuh setengah tambun nya untuk kami ‘service’, kadang-kadang saya kebagian kaki dan Yay Dadi tangan, atau sebaliknya. Keahlian kami dalam memijat tak perlu diragukan.
Dua tahun saya tak pulang kampung, dan bulan Juni yang lewat saya datang ke rumahnya lagi tapi kali ini tidak bersama seorang Tentara yang sedang pendidikan, ya, Yay Dadi.
Kami bercakap-cakap. Percakapan seorang kakek pada cucunya dan seperti biasa saya sambil memijat Akas Din, dan meski sendirian, tubuhnya justru sedikit terasa lebih enteng, dan memang ia tampak sedikit kurusan.
Ia bilang kalau dirinya sudah tua dan sakit-sakitan dan merasa waktunya di dunia tak akan lama lagi, kapan saja Allah akan hadiahkan maut ia siap, dan ia bilang bahwa do’akan saja. Akas Din tak bilang saya harus pulang ke kampung, ia hanya meminta do’a. Hanya itu.
“Akas sa kok tuha Bara, tinggal nunggu giliran, amon kok angka lagi, ikin da mulang-mulang, do’a ko juga ya,”

Saya anggap itu guyonan, meski ketika mengucapkan itu semacam ada perasan aneh yang menyelimuti hati kecil saya. Apakah ini perpisahan kecil dari firasat seorang kakek? Saya menepis anggapan tersebut.
Kemarin. Saat tengah istirahat dari pekerjaan. Betapa terpukulnya saya ketika mendapat kabar Akas Din wafat. Saya tak pernah menyangka malam hari di bulan ramadhan itu jadi kali terkahir kami bertemu.
Beberapa hari yang lalu, saya tahu ia sakit dan dirawat, dan saya mengabari Yay Dadi untuk mendo’akan kesembuhan Akas Din.
Dan sore kemarin, saya mengabari Yay Dadi lagi, dengan perasaan kebingungan, dan merasa kosong setengah tak percaya. Bahwa kami tak akan pernah lagi memijat kaki dan tangan atau sesekali bahu Akas Din.
Kematian telah memisahkan kami : saya dan semua keluarga besar, kerabat, murid-murid, dan siapapun yang mencintai Akas Din.
Tapi nama dan kebaikan-kebaikanya tak akan pernah cabut dari dunia ini. Setidak-tidaknya di catatan yang penuh malaikat Raqib.
Dunia semakin sumpek dan Akas Din pergi pada saat-saat seperti ini, ia pergi dengan kelegaan untuk berjumpa kekasih-Nya : Allah.
Saya bersaksi, Akas Din adalah orang shaleh yang baik bahkan penuh keluhuran budi, saya yakin dengan keyakinan seorang hamba atas janjinya Rabb-Nya, surga adalah tempat istirahat Akas Din.
Tak kapok dan bosan. Mari kirimkan Akas Din, Bahrudin Ibrahim bin Ibrahim, Al-fatihah…..
Tabik !