Untuk Dani 

Diunggah di Facebook, 10 September 2023

Dani masih muda. 19 tahun. Saat yang lain merengek meminta uang kepada orang tua mereka, adik nomor dua saya ini sudah merasakan lelahnya bekerja. 

Saat yang lain masih harus diingatkan soal birrul wallidain, Dani sudah menjalaninya dengan senyum pasti. Tidak lagi sebagai konsep. Tapi praktik.

Dani memulai kariernya dengan melanjutkan ‘bisnis’ orang tua kami di sektor pertanian dan perkebunan. Aktivitas utamanya ‘nampas karet’. 

Pria mungil yang sering bertanya kepada saya apakah dirinya memenuhi standar tampan atau tidak ini sungguh handal dan tak mudah mengeluh. Bisa diandalkan untuk urusan domestik dan pekerjaan fisik. Dani seorang yang tekun. 

Saya tahu apa yang dilakukannya bukan hal yang enteng. Sangat menguras energi, tapi Dani menyimpan semuanya dengan rapi. Dalam bahasa diam. Ketabahannnya membuat saya kagum. 

Saya kadang tak sampai hati melihat remaja puber ini berangkat ke kebun dan berpanas-panasan. Apa mau dikata keaadanlah yang menghendakinya demikian. 

Dani boleh saja tak unggul di bidang pendidikan. Tapi kerja kerasnya membuatnya berdiri lagi dan lagi. Ruang belajarnya lebih luas dari sekedar tembok² sekolah. 

Dani sering diremehkan. Tapi dia pria yang kuat. Setiap kali ombak datang Dani berselancar. 

Seperti kata Ernest Hemingway “Manusia bisa dikalahkan tapi tak bisa dihancurkan,”

Saya tak ragu untuk mengatakan dan meyakinkan kepada dirinya bahwa dia bisa melakukan lebih dari apa-apa yang orang sangka. 

Jalan untuk membungkam mulut² para penceloteh sok tahu kini terbuka. 

Saya mengajaknya ke Jogja. Menjelaskan padanya beberapa rencana. Dani setuju dan sangat antusias. 

Hari ini Dani merambah kecakapannya di industri kuliner. Sebagai waiters di salah satu warung makan Jogja. 

Di waktu mendatang saya yakjn Dani punya resto sendiri. Usahanya sendiri. Sebagai bos. Aamiin. Begitulah, setiap puncak dimulai dari langkah pertama. Langkah kecil tak mengapa.

Saya sedih sekali karena berbarengan dengan itu saya harus ke Kalimantan Timur untuk sebuah project. Kurang lebih 20 hari saya di tanah Borneo. 

Alhamdulillah selepas lulus saya langsung bekerja — sebenernya saya sudah bekerja sejak semester 5 — ini pekerjaan saya dengan atribut gelar dibelakang nama.

Berbarengan dengan itu juga Mama, Papa, Kakek, dan dua adik saya lainnya pulang ke Sumatera Selatan. 

Kami menikmati momen 5 hari di Jogja. Merayakan wisuda saya yang tertunda. Saya ajak mereka mengitari beberapa tempat ikonik di Jogja. Mereka bahagia dan senyum saya terkembang tak henti-henti. 

Alangkah cepatnya waktu berlalu. Kini kami terpisah jarak lagi. Syukurnya dalam kondisi yang jauh lebih baik.  

Terutama untuk Dani, ini kali pertama dia berada di pulau yang lain. Kakek saya menangis saat memeluknya sesaat sebelum naik bis. Saya bisa membaca hal yang sama dari mata Mama Papa dan adik-adik.

Seperti yang saya bilang di atas. Tiba lagi waktunya kami terpisah jarak. Tapi apalah artinya itu sebab kami selalu terhubung lewat pesan dan doa-doa.

Sepulang dari Kalimantan Timur nanti, saya katakan pada Dani; kita ngopi-ngopi sambil menceritakan kisah para nabi.

Saya ketik pesan ini dari ketinggian langit dan saya ingin bilang; untuk Dani tegak dan hadapilah dunia ini. Kamu tidak sendiri. 

Bismillah. 

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *